Senin, 01 Februari 2021

Mutu Derajat Jurnalis

Budaya jurnalistik yang tidak beretika dalam dunia modern saat ini menjadi ‘tsunami’. Tsunami itu air yang banyak dan bisa membu-nuh kita. Tsunami informasi berarti informasi yang sangat banyak dan tidak terbendung. Tidak lagi ada etika dan tata krama dalam sebaran informasi.

Sebelum dunia internet dikenal, setiap jurnalis yang melaporkan berita selalu menyertakan sumber kutipan. Bagaimana melihat jurnalisme dalam era internet? Pertanyaanya kita sebagai pembaca bukan mana benar dan salah beritanya, tetapi bagaimana kita mengukur derajat keperca-yaan media yang kita baca. Bila kita menulis, memilih sumber, memilih kutipan kemudian mempublikasikan atau sekedar memviralkan atau memforward berita dari Whatsapp, facebook dan sosial media lainya pertanya-annya adalah apa yang membuat kita dipercaya oleh masyarakat pembaca WA atau media sosial itu?

Tugas utama jurnalis adalah memberitakan kebenaran yaitu kebenaran fungsional yang dibu-tuhkan masyarakat, bukan kebe-naran teologis, bukan kebenaran filsafat juga bukan kebenaran ideologi. Arti kebenaran fungsional itu kebenaran sehari hari yang bisa direvisi dan diperbaiki layaknya ilmu pengeta-huan, sejarah dan sebagainya.

Esensi jurnalisme adalah verifikasi, bedakan dengan hiburan, propaganda, fiksi infotainment atau seni. Oleh karena itu jurnalis harus bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam liputan seperti nama lengkap, tujuan wawancara, email dan seterusnya; bersandar pada reportase sendiri dan menyadari prinsip urutan sumber dimana sumber pertama lebih bisa diandalkan dari sumber kedua dan seterusnya. Juga bersikap rendah hati, dalam memverifikasi perlu pikiran terbuka.

Untuk memverifikasi, pertanyaan yang baik mencerminkan keterbukaan pikiran dari 5W1H dan bukan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak.

Penggunaan sumber anonim dengan ketentuan bila sumber tersebut berada pada lingkaran pertama peristiwa berita atau untuk keselamatan sumber tersebut bila identitasnya terbuka.
Sumber anonim harus lebih dari satu dan independen satu dengan yang lain. Sumber anonim harus berjanji bahwa perjanjian ke anoniman batal bila dia terbukti menyesatkan atau beritanya tidak benar.

 Paparan tentang jurnalistik itu disampaikan oleh jurnalis senior dari Human Rigths Watch Bpk. Andreas Harsono sebagai narasumber webinar “Bagaimana menilai jurnalisme bermutu dalam tsunami informasi?”, yang diselenggarakan oleh Museum BENTENG HERITAGE dan Persaudaraan PERTIWI, didukung AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), KOMJEL (Komunitas Jelajah) dan Komunitas Historia Indonesia, pada Rabu 27 Januari 2021 Jam 19.00 WIB. Dalam webinar tersebut Panitia juga menghadirkan sejarahwan Prof. Peter Carey.

Menurut Prof. Peter Carey, peran dari wartawan selama masa sejarah sangat penting dan tidak diragukan. Tetapi wartawan paling sering diserap dalam politik, contoh pada perang Diponegoro, kalau Belanda mau mengakui kesalahan mereka tentang kesa-lahan kebijakan yang mengakibatkan krisis maka mereka bisa kalah perang. Maka mereka membelokkan sejarah dengan cerita bahwa Diponegoro melawan karena frustasi tidak jadi sultan dan tidak mau ada modernisasi saat Belanda melebarkan jalan di areal kediamannya. Ada kesan siapa menang akan menulis sejarah.

 Prof Peter berpesan agar kita menjadi jurnalis yang berani menuliskan kebenaran “Kebohongan besar menjadi salah satu biang keladi malapetaka besar di beberapa negara. Saat kita menulis sejarah, kita harus berani menulis yang benar. Jangan takut mengutarakan sesuatu yang tepat kepada pemimpin. Kita harus berani membongkar yang busuk. Kalau kita tidak membongkar yang busuk maka akan merusak akar atau sendi suatu negara.“

“Tugas seorang sejarahwan adalah mengungkapkan kebenaran yang menjadi peninggalan abadi sekaligus jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.” Pungkas Prof Peter. ***

Penghormatan Relikui

Museum Ursulin Santa Maria (MUSM) menggelar Pameran dan Penghormatan Relikui memperingati Hari Raya Semua Orang Kudus. Kegiatan Pameran dan...