Sahabat Santa Angela atau lebih dikenal dengan nama singkat SSA Kampus St. Theresia mengunjungi Museum Biara Santa Maria Minggu (20/08/2017). Tiga Puluh empat anggota SSA dari kampus St. Theresia merupakan gabungan dari SMP, SMA dan SMK Pariwisata St. Theresia, Menteng Jakarta Pusat. Mereka didampingi Sr. Mitelda OSU, Pak Aldo dan Pak Alfons untuk mengenal lebih dekat Santa Angela, pendiri Ordo Santa Ursula. Banyak anggota baru SSA berasal dari sekolah lain diluar sekolah Ursulin. | Beberapa orang tua siswa yang hadir mendampingi dan turut menikmati perjalanan mengelilingi Museum Santa Maria. Selama kurang lebih satu jam, rombongan yang dibagi dalam dua kelompok itu menikmati kunjungan di museum. Mereka antusias, terutama di ruang relikui. Ketika ditanya ditanya apa itu relikui mayoritas dari mereka menjawab hal yang sama yaitu peninggalan. Saat dijelaskan bahwa relikui di museum Santa Maria adalah berupa potongan tulang atau gigi, setengah berebut mereka mencari cari dimana tulang dan gigi tersebut. Mereka bertanya tanya “Mana giginya?” Mereka penasaran ingin melihat seperti apa gigi para orang kudus. Namun setelah dijelaskan bahwa tidak ada gigi utuh yang disimpan karena justru akan membuat takut pengunjung, mereka tertawa. Secara keseluruhan mereka senang, seperti yang disampaikan pak Aldo yang ditulis di buku pengunjung “Tempatnya bersih, nyaman dan terawat. Penjelasan yang diberikan lengkap, penuh kesabaran dalam mendampingi anak anak.” Tak lupa Pak Aldo juga mendoakan semoga museum Santa Maria semakin maju.*** |
Senin, 21 Agustus 2017
Mencari Gigi Orang Kudus Di Museum Santa Maria
Jumat, 18 Agustus 2017
Rabu, 02 Agustus 2017
PEMBUKAAN MUSEUM
Kehadiran museum diwartakan juga dari mulut ke mulut sehingga semakin
banyak pengunjung. Akhirnya diusulkan agar museum ini juga didaftarkan
di AMI (=Asosiasi Museum Indonesia), di bawah naungan Departemen
Pariwisata.
AMI sering mengadakan pertemuan dan seminar untuk para anggotanya. Kini, setiap kali ada kegiatan AMI, Museum San-Mar juga diundang. Seminar pernah digelar dua kali di Museum Bank Indonesia.
Peserta diberi masukan cara memelihara artefak, baik dari bahan kertas maupun bahan lain, cara membuat display yang baik, mengatur suhu ruangan dengan atau tanpa AC agar artefak tetap awet, memberi sentuhan dengan sound-system untuk mendukung suasana. Ada pengunjung yang berkomentar “dengan adanya musik, suasana menjadi tidak serem.”
AMI sering mengadakan pertemuan dan seminar untuk para anggotanya. Kini, setiap kali ada kegiatan AMI, Museum San-Mar juga diundang. Seminar pernah digelar dua kali di Museum Bank Indonesia.
Peserta diberi masukan cara memelihara artefak, baik dari bahan kertas maupun bahan lain, cara membuat display yang baik, mengatur suhu ruangan dengan atau tanpa AC agar artefak tetap awet, memberi sentuhan dengan sound-system untuk mendukung suasana. Ada pengunjung yang berkomentar “dengan adanya musik, suasana menjadi tidak serem.”
Sejak dibuka, museum ini memasuki usia yang keempat. Belum banyak tamu yang berkunjung untuk sekedar apresiasi atau pun belajar, secara pribadi maupun rombongan. Menurut buku tamu, tercatat setiap tahun rata-rata baru sekitar 700-an orang. Museum sedang terus dikembangkan untuk menyambut 160 th Ursulin di Indonesia.
MEMULAI PEMBANGUNAN MUSEUM
Ketika menemukan bermacam ragam peninggalan para suster pendahulu,
Sr. Ingrid mulai berpikir untuk apa dan harus bagaimana dengan berbagai
artefak “bernilai” sejarah itu?
Merasa tergugah untuk “menyelamatkannya”, maka ketika ada waktu luang, sedikit demi sedikit beliau mulai mengumpulkan, memilah-milah, dan membersihkannya. “Biasanya waktu istirahat siang atau hari Minggu, saya kerjakan pelan-pelan.”
Kemudian dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong dalam biara lama yang sempat menjadi “gudang”, artefak itu diurutkan, diatur, dan dinamai. “Dibutuhkan waktu satu setengah tahun untuk mengerjakan semuanya,” jelas Sr. Ingrid yang menjadi pemimpin Komunitas San-Mar sejak 2009.
Merasa tergugah untuk “menyelamatkannya”, maka ketika ada waktu luang, sedikit demi sedikit beliau mulai mengumpulkan, memilah-milah, dan membersihkannya. “Biasanya waktu istirahat siang atau hari Minggu, saya kerjakan pelan-pelan.”
Kemudian dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong dalam biara lama yang sempat menjadi “gudang”, artefak itu diurutkan, diatur, dan dinamai. “Dibutuhkan waktu satu setengah tahun untuk mengerjakan semuanya,” jelas Sr. Ingrid yang menjadi pemimpin Komunitas San-Mar sejak 2009.
Lalu datanglah volunteer Ibu Gina Sutono, alumni SPG Santa Maria, yang pernah dipercaya mengurus Museum Katedral Jakarta, menawarkan diri untuk mengurus Museum San-Mar. Tawaran yang sangat berharga ini semakin membangkitkan semangat Sr. Ingrid untuk terus memelihara dan mewartakan kehadiran Museum Santa Maria.
Awalnya staf Yayasan Nitya Bhakti dan suster muda dilibatkan untuk mencatat dan melayani para pengunjung. Dari biara sendiri, diperbantukan Sr. Elisa dan Sr. Lucia hingga saat ini. Keberadaan Museum San-Mar juga dimasukkan di situs sekolah San-Mar.
Ibu Gina, pemerhati kelestarian artefak di museum, dengan penuh semangat mengurus tata letak artefak-artefak dan membuat brosur, bahkan Gina sampai menjadi pemandu para tamu yang datang. Berita tentang museum sudah pernah dimuat dalam majalah HIDUP.
Kini, setiap tahun rombongan siswa Sekolah Santa Maria mengunjungi
museum sebagai bagian dari kegiatan Opspek/acara pengenalan kampus,
mengenal lingkungan, dan sekaligus mengenal para suster pendahulu.
Dari sekolah-sekolah Ursulin lain yang sudah pernah datang antara lain, Sr. Francesco dengan para guru BSD, menyusul anak-anak KB-TK BSD. Lalu siswa-siswi SD St. Ursula-Jakarta, menyusul SD St. Theresia datang secara bergelombang, dengan menumpang bis Trans-Jakarta, juga kelompok SSA-nya.
Menurut mereka, yang menarik dari museum antara lain: daftar kematian para suster, tempat tidur dengan hiasan-hiasan di atasnya, buku-buku liturgi dengan tulisan Latin-bagus, uang-uang zaman dulu juga bagus, buku-buku kuno di ruang kerja, dll.
Dari sekolah-sekolah Ursulin lain yang sudah pernah datang antara lain, Sr. Francesco dengan para guru BSD, menyusul anak-anak KB-TK BSD. Lalu siswa-siswi SD St. Ursula-Jakarta, menyusul SD St. Theresia datang secara bergelombang, dengan menumpang bis Trans-Jakarta, juga kelompok SSA-nya.
Menurut mereka, yang menarik dari museum antara lain: daftar kematian para suster, tempat tidur dengan hiasan-hiasan di atasnya, buku-buku liturgi dengan tulisan Latin-bagus, uang-uang zaman dulu juga bagus, buku-buku kuno di ruang kerja, dll.
Kelompok-kelompok lain yang pernah berkunjung antara lain, para
katekumen paroki Tangerang, mereka sekaligus mengunjungi para lansia
paroki Kelapa Gading, katekumen paroki Cililitan. Ada juga beberapa
orang asing, warga Belanda, yang singgah untuk penelitian atau sekedar
mengapreasi koleksi dan artefak-artefak.
YANG MENARIK
Di Ruang Liturgi, ada banyak relikui (bagian/ tubuh dari orang-orang kudus), dari Santo Ignatius Loyola sampai santo-santa lain yang tak dikenal. Tak dikenal karena ketika ditemukan pertama kali, semuanya menumpuk di belakang kapel biara. Antara relikui dan surat keterangannya terpisah satu sama lain dan masih dalam bahasa Latin. Dengan telaten Sr. Ingrid Widhiningsih, mulai mencocokkan surat dan tulisan yang ada di relikui satu per satu. “Wah, relikuinya banyak sekali,” kata Sr. Madeleine Mail, sewaktu datang dengan beberapa suster dari komunitas Jalan Pos. “Mungkin itu yang membuat biara ini jadi sejuk dan tenang,” lanjutnya. Suatu saat, datanglah ahli sejarah gereja, Rm. A. Heuken, SJ, dengan tongkatnya, ingin melihat-lihat museum. Beliau sempat heran, “Di biara-biara lain relikuinya tidak sebanyak yang ada di sini,” katanya. Perkiraan kami adalah kemungkinan setiap suster misionaris Ursulin yang datang ke Indonesia masing-masing membawa relikui. Bisa jadi mereka memohon perlindungan dan keselamatan di jalan kepada orang kudus devosi mereka masing-masing. Setelah sampai di Batavia, di rumah induk Noorwijk ini, relikui-relikui itu lalu ditinggalkan.
Yang tidak kalah menarik adalah berbagai macam bentuk salib dan patung Bunda Maria. Unik dan indah, raut wajahnya cantik dan proporsional tingginya. Kalau kita amati, berbeda dengan patung-patung buatan sekarang. Sering kali wajah patung “kurang cantik” dan “kurang proporsional perbandingan tinggi badannya.” Keunikan dan keindahan hasil karya pahatan mencerminkan suatu ungkapan jiwa dan perasaan si pembuat, si pematung, atau si pemahat. Tentu hal ini tidak luput dari kontemplasi si pemahat, relasi si pemahat, dan yang dipahat.
Langganan:
Postingan (Atom)
Penghormatan Relikui
Museum Ursulin Santa Maria (MUSM) menggelar Pameran dan Penghormatan Relikui memperingati Hari Raya Semua Orang Kudus. Kegiatan Pameran dan...

-
Hari Museum Indonesia tahun 2019 dirayakan dengan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Grebeg Museum (=ramai-ramai mengunjungi museum...
-
Tanah makam para suster awalnya ada di Bidaracina. Semula tanah itu adalah pemberian Bapak Heugen, kepada Uskup Vrancken dengan mak...
-
Setiap kita ke museum apakah kita baca semua teksnya? Seperti apakah teks yang sesuai dan enak dibaca? Ibu Ajeng Ayu Arainikasi...