Jumat, 15 Maret 2019

Kopi Darat Relasi FB


Relasi dapat dijumpai dari mana saja, salah satunya dari social media. Dan di Facebook inilah relasi dibangun dan menambah wawasan dengan perjumpaan di Museum Santa Maria. 

Adalah Pak Suyanto Lumaksono, seorang pencinta sejarah dan bangunan-bangunan tua. Bermula dari diskusi di facebook, pemandu museum berdiskusi dan saling memberi argumen tentang bangunan gedung yang sekarang menjadi Museum Santa Maria. 

Pak Suyanto di laman facebook menyatakan bahwa gedung Santa Maria bagian depan semula hanya tiga pintu. iapun menunjukkan  foto yang dimaksud. Sementara staff museum meyakini bahwa foto yang ditunjukkan tersebut bukan gedung Santa Maria. 

Pak Suyanto Lumaksono dari Bandung akhirnya datang berkunjung ke Museum Santa Maria pada Sabtu 2/2/2019. ”Kebetulan selesai menghadiri undangan pernikahan saudara di Katedral (Jakarta) jadi sekalian mampir kesini,” Kata pak Suyanto memberi alasan. Setelah perkenalan singkat, Pak Suyanto yang baru pertama kali datang dihantar keliling museum. 

Di Ruang Angela, ruang pertama museum inilah Pak Suyanto menunjukkan foto-foto koleksi dari website Rijks Museum-Belanda. Diskusi dan argumentasi yang disampaikan di facebook ia tunjukkan lagi. Ia sudah siap dengan data foto yang disimpan di gawainya.
Dalam foto yang ditunjukkan Pak Suyanto, gedung Santa Maria semula memiliki halaman samping kiri dan kanan, dan bagian depan terdapat tiga pintu. Foto berikutnya sama persis dengan foto koleksi museum, tidak ada halaman di samping kiri dan kanan gedung Santa Maria. Halaman di samping kiri dan kanan sudah hilang berganti gedung baru menempel di bangunan lama. 

Yang membuat Pak Suyanto yakin bahwa gedung Santa Maria dulu hanya memiliki tiga pintu depan adalah gambar pagar baik di foto pertama maupun foto kedua yang ia tunjukkan sama persis dan tidak ada perubahan. 

Informasi yang diberikan terkait gedung Santa Maria memberi tantangan pemandu untuk kembali membaca kronik (jurnal para suster) dengan lebih teliti. Informasi baru harus diolah terlebih dahulu dicermati dan dicari pembandingnya dari berbagai sumber sebelum disampaikan kepada publik. Dan sampai saat ini Museum Santa Maria masih menelaah informasi tersebut. 

Ternyata memang ada keterbatasan di ruang maya dan hanya bisa dijembatani dengan bertemu langsung. Informasi yang disampikan serta diskusi dapat dibahas dengan baik dan pada akhirnya menambah wawasan kedua belah pihak dan tentu saja baik bagi pengunjung karena mendapatkan informasi yang semakin terang.***

Kamis, 14 Maret 2019

Seluk beluk Relikui



Relikui para kudus menjadi perhatian khusus Frater Samuel Sonny Gunawan, OP, alumni SMP Santa Maria saat berkunjung ke Museum Santa Maria Selasa, 8 Januari 2019.

Frater Samuel kagum dengan banyaknya koleksi relikui dan masih terawat baik. Kemudian ia menceritakan relasi antar biara, “Di Jerman bagian utara dan Belanda bagian Selatan itu banyak biara-biara, dan mereka saling mendukung diantara biara-biara tersebut meski berbeda ordo atau kongregasi. 

Nah ketika ada biara yang bermisi, biasanya mereka menyumbangkan dana. Tetapi bila tidak memiliki dana, mereka memberikan yang terbaik yang dimiliki biara. Apa itu? Ya relikui,” jelas frater yang sering juga dipanggil Frater Sonny.

Ia punya banyak pemahaman dan sangat tertarik dengan relikui. Frater Sonny menjelaskan siapa saja yang berhak mengeluarkan sertifikat. 

“Yang pertama itu uskup keuskupan setempat, kemudian Magister General atau general-nya di biara pusat. Berikutnya Provinsial dan yang terakhir adalah administrator keuskupan yang biasa disebut POSTULATOR. Jadi kalo ada sertifikat dengan tulisan Postulator maka itu yang mengeluarkan sudah pasti administrator keuskupan.” 

Beberapa relikui juga menjadi perhatiannya, “Disini relikuinya lengkap, termasuk ada Relikui Santo Yoseph & Bunda Maria dan juga para rasul. Saran saya nanti dibuat ruang yang agak lebih besar kemudian diurutkan mulai dari Bunda Maria dan Santo Yoseph kemudian Salib Yesus, para Rasul, terus para kudus pendiri Ordo dan relikui para Kudus sesudahnya. Jadi ada urutannya.” 

Usul dan saran yang berharga itu kami catat untuk menjadi pe-er penataan museum selanjutnya, TERIMA KASIH FRATER SONNY.***

Komunitas Anak Belajar (Children Learning Community)


Tujuh belas orang dari Komunitas Anak Belajar dari Cakung Sabtu 9/2/2019 berdesak-desak dalam mikrolet kecil datang untuk mengunjungi Museum Santa Maria. Mereka terdiri dari para mama, anak-anak dan remaja yang mayoritas perempuan. Didampingi ketuanya Debby Ametimu, mereka ingin mengenal dan belajar Museum Santa Maria dari dekat. 

Mereka diajak nonton film pendek tentang museum dan sejarah singkat para suster. Mereka serius menonton film berdurasi 10 menit itu tanpa ada suara lain. Selesai menonton, mereka dipandu keliling museum. 

Di Ruang Angela, mereka diperkenalkan dengan sosok Angela Merici pendiri Ordo Santa Ursula dimana para suster anggotanya disebut Ursulin, berkarya di tempat ini. Pemandu menjelakan bahwa saat masih kecil, sebelum tidur, Pak Giovanni Merici ayah Angela sering menceritakan kisah-kisah dalam Kitab Suci dan Kisah Orang Suci atau Santo-Santa. Kisah dalam cerita itu kemudian membentuk karakter Angela saat dewasa yang mengikuti teladan orang suci idolanya yaitu Santa Ursula dan Santa Katarina, menghibur dan melayani orang kecil.

Pemandu menyelipkan pesan kepada para orang tua yang hadir agar selalu menemani anak-anaknya menjelang tidur dan tidak lupa menceritakan kisah dari para tokoh-tokoh baik pahlawan maupun tokoh orang suci agar anak mereka punya mimpi menjadi orang besar seperti halnya Angela Merici. 

Pembentukan karakter ditanamkan sejak kecil dan menjadi tanggung jawab para orang tua. Oleh karena itu, dianjurkan sebelum tidur, orang tua menemani anak dan menceritakan kisah para tokoh-tokoh besar dunia itu. Diusahakan agar orang tua mengurangi ketergantungan anak dengan HP , orang tualah yang harus dekat dengan anak bukan HP. 

Dari ruang Angela lanjut ke ruang-ruang lain. Pemandu selalu menyelipkan pesan bagi pengunjung, peran perempuan seperti yang dicontohkan para Suster Ursulin yang datang dari jauh ke Indonesia untuk mendidik para perempuan. Mereka mendidik lebih dari sekedar membaca, menulis dan berhitung tetapi juga etika dan moral.

Para Suster tidak hanya mendidik tetapi juga menyiapkan wanita agar menjadi seorang ibu yang baik, cerdas dan bijak. 

Usai berkeliling selama kurang lebih sejam, sebelum pulang mereka berfoto bersama di halaman depan (foto), tak lupa Suster membawakan mereka minum dan makanan kecil untuk seluruh rombongan. ***

Sewindu Museum Santa Maria


Warna- warni balon seketika terbang ke udara setelah Suster Maria D. Sasmita, OSU Kepala Biara Santa Maria Juanda memotong tali-tali pengikatnya. Bersamaan dengan itu tersingkaplah Papan Nama baru Museum Santa Maria bernuansa oranye pertanda acara Open House Museum dimulai. 

Perayaan syukur ulang tahun Sewindu Museum Santa Maria Jakarta Rabu 06/2/2019 ditandai dengan pemasangan dan peresmian papan nama Museum Santa Maria dan kegiatan Lomba Fotografi untuk segala umur. Tujuannya tidak lain adalah supaya makin banyak masyarakat mengetahui bahwa di dalam kompleks sekolah-biara Santa Maria terdapat “living heritage”. 

Para tamu yang hadir sekitar 50 orang memenuhi Hall mungil. Sebagian adalah para suster dari berbagai komunitas, para undangan dari sekolah-sekolah, para pemerhati museum dan sponsor datang untuk ikut menyaksikan serta mengenal lebih dekat Museum St Maria. Lalu dilanjutkan dengan doa dan pemotongan tumpeng sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan, atas perjalanan delapan tahun (2011-2019) Museum Santa Maria. 

Ibu Gina Sutono, mewakili volunteer terlama dan Mr Scott Merillees pemerhati kota Batavia/Jakarta yang pertama kali konfirmasi hadir, menerima potongan tumpengnya. Acara dimeriahkan oleh permainan piano persembahan Sir Harry Darsono Phd. 

Panitia sempat kalang kabut karena permintaan mendadak untuk menyediakan piano. Namun akhirnya piano kuno yang sudah lama “fals” bunyinya, dapat digunakan untuk menghibur para tamu. 

Lagu pertama yang dimainkan dengan “ciamik” adalah ungkapan, bahwa Cinta adalah banyak hal yang indah :“Love is a many splendored thing”. Para tamu juga diajak untuk bernyanyi bersama lagu Indonesia Pusaka ciptaan Ismail Marzuki dengan penuh semangat. 

Sekilas Perkembangan Museum 

Seperti kita ketahui, Museum Santa Maria sendiri diprakarsai oleh Sr. Ingrid Widhiningsih, OSU yang saat itu menjadi Pemimpin Komunitas. Selama 1,5 tahun beliau mengumpulkan, membersihkan dan menata artefak yang berserakan, di kapel, kamar, ruang dalam biara dan di unit-unit sekolah. 

Ibu Gina Sutono membantu mengumpulkan koleksi dan menata artefak-artefak di ruang-ruang kosong waktu itu.


Museum Santa Maria resmi dibuka oleh Pastor Paroki Katedral Rm Bratakartana, SJ pada 6 Februari 2011 usai misa di kapel. Selama tahun 2011-2015 Museum dibuka dan dikunjungi pada hari-hari tertentu saja seperti ketika ada MOS siswa/i baru dan Sabtu-Minggu oleh umat sekitar dan sekolah-sekolah Ursulin. 

Setelah Suster Ingrid diutus ke Komunitas Theresia medio 2015, pengelolaan Museum Santa Maria dilanjutkan oleh Suster Lucia yang sebelumnya juga ikut membantu mengurus museum. Dimulailah pendataan artefak secara digital yang dibantu oleh para volunteer dan fotografer Senior Kompas Arbain Rambey. 

Tahun Yubelium Kerahiman 2016, selain Kapel, Museum Santa Maria juga banyak dikunjungi umat KAJ. Sejak saat itu, Museum Santa Maria dibuka untuk umum menyesuaikan dengan Museum Katedral dengan jadwal buka tiga kali dalam seminggu: Senin-Rabu-Jumat; karena sering kali umat yang datang ke Museum Santa Maria, juga mengunjungi Museum Katedral dan sebaliknya. Pada tahun itu pula, Museum Santa Maria, mulai tercatat dan aktif mengikuti program yang diselenggarakan oleh AMIDA (Asosiasi Museum Daerah) Paramita Jaya, Jakarta. 

Setelah dibuka untuk umum, banyak orang tertarik dan ingin tahu seperti apakah Museum Santa Maria tersebut. Maka pada Juli 2017 Museum Santa Maria selain terus membuat brosur dan booklet, juga membuat blog sebagai sarana publikasi kegiatan dengan alamat http:// museumsantamariajuanda.blogspot.co.id dilanjutkan fanspage dan Instagram (IG). 

Pada 19-22 April 2018 Museum Santa Maria untuk pertama-kalinya mengikuti Pameran Museum Bersama Se-Indonesia ke-VI, dalam rangka HUT TMII ke-43 yang bertemakan: “Peran Perempuan Indonesia” di Sasana Kriya-TMII. Museum Santa Maria bergabung bersama museum-museum di seluruh Indonesia, berpameran bersama. 

Untuk lebih meningkatkan pelayanannya, mulai Oktober 2018 Museum Santa Maria dibuka setiap hari kerja dari jam 08.00 – 14.00, sementara untuk Minggu dan Hari Libur nasional dengan perjanjian. Jumlah pengunjung museum bervariasi, di tahun 2016 karena bertepatan dengan perayaan Yubileum maka pengunjung mencapai hampir 4.000 orang. Sementara di tahun 2017 sebanyak 1.455 orang dan 2018 sebanyak 1.405 orang. Sedangkan di tahun 2019 di bulan Februari sampai berita ini ditulis pengunjung tercatat sebanyak 400 orang. 

Museum Santa Maria masih termasuk karya baru dari Suster Ursulin Uni Roma, Provinsi Indonesia, sehingga pengelolaanya masih termasuk bagian dari biara. Museum ini menempati bagian depan dari bangunan paling awal. Organisasinya masih sederhana, dengan satu penanggung jawab, satu karyawan dan beberapa volunteer. 

Karya baru ini memiliki banyak tantangan, terutama fungsi dan kondisi gedung lama yang perlu direvitalisasi, perlunya konservasi berbagai macam artifak, selain Kompetensi pengelola yang masih terbatas. Namun dengan bergabungnya Museum Santa Maria dengan AMI (Asosiasi Museum Indonesia)– DKI Paramita Jaya yang setiap bulan mengadakan pertemuan, Museum terus belajar dan berbenah, untuk meningkatkan pelayanan, penyajian dan pemeliharaan.***

Belajar Memandang Perbedaan





Pendidikan Pancasila tidak melulu harus dikelas. Perlu riset dengan melihat langsung, bagaimana Pancasila diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu tempat yang terpilih untuk riset itu adalah Museum Santa Maria.

 Senin 19 November 2018, Pak Simon mengontak museum Santa Maria. Pak Simon Wenehen, dosen matakuliah Pancasila di STIE URSULA Mengabarkan akan berkunjung ke kapel dan Museum keesokan harinya pada selasa 20 November pagi jam sembilan. Tetapi karena esok paginya sudah ada rombongan lain yang memesan tempat sebulan sebelumnya, kami tawarkan Pak Simon dan rombongan perubahan jam. Setelah tawar menawar soal waktu kunjungan, disepakati rombongan akan datang sekira jam 13.00

 Hari Raya Maulud Nabi saat jam menunjuk angka 13.20, rombongan mahasiswa STIE URSULA masuk ke kapel Santa Maria. Di dalam kapel, Pak Simon memperkenalkan diri dan rombongan. Menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan. Ia mengajak mahasiswanya yang berlatar belakang berbagai agama dan suku, berkunjung ke beberapa tempat ibadah untuk melihat dari dekat setiap agama dan belajar bagaimana perbedaan saling mendukung dan melengkapi.

 Di depan para mahasiswa, Pemandu menjelaskan singkat gambaran umum kapel Santa Maria. Kapel sendiri adalah gedung gereja kecil. Dan Kapel santa Maria meski menjadi bagian dari biara, namun para suster mengijinkan umat datang bergabung merayakan misa harian dan mingguan.

 Dari Kapel, Pemandu mengarahkan rombongan menuju ke hall museum. Sambil lesehan, kembali Pak Simon memperkenalkan diri dan menyampaikan niat dan tujuan mereka datang ke Santa Maria. Suster Lucia menyambut gembira kedatangan kawan kawan mahasiswa. Setelah berkenalan singkat dan memutarkan film pendek, Suster memberi ruang untuk bertanya.

 Zerly, salah satu mahasiswi berjilbab bertanya bertanya tentang baju yang dikenakan suster. “Suster pakai seragam ini apakah tiap hari? Trus untuk apa dan bagaimana bisa pakai sragam itu?” Suster menjelaskan bahwa baju yang dikenakannya adalah baju seragam para suster. Ada beberapa tahapan, yang pertama saat masih novis hanya baju seragam belum menggunakan kerudung. Kemudian setelah berkaul sementara baru mendapat kerudung. Setelah berkaul kekal, maka seorang suster mendapatkan kerudung dan salib serta cincin yang harus dipakai setiap hari.
Pertanyaan lain dari Bella ”Menurut Suster, gimana cara mengatasi perbedaan agama di Indonesia?” “Waah berat ini…berat…. berat pertanyaannya ….hahahaha… sahut beberapa teman lain. Suster menjawab dengan mengisahkan peristiwa ketika seorang anak baru lahir dan disekitarnya sudah ada perbedaan kemudian tumbuh bersama , mungkin tidak akan mereasakan perbedaan itu. Susterpun mengisahkan masa kecilnya yng hidup dan bertetangga dengan banyak macam latar belakang perbedaan namun tetap dapat hidup rukun damai bahkan sampai saat ini masih berelasi dengan baik.

 Setelah puas bertanya, tiba waktunya untuk berkeliling museum. Rombongan dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok didampingi pemandu. Semua kelompok masuk ke ruang ruang yang ada di Museum. Mereka mendapatkan penjelasan bagaimana Para Suster Ursulin mengawali perjalanan, memulai karya dengan berbagai tantangan dan kesulitan. Apalagi pada masa awal kedatangan mereka di tahun 1856, Para Suster sudah menjadi minoritas. Katolik pada masa itu sangat kecil dibanding penduduk Batavia. Bahkan para pekerja , penghuni asrama dan murid suster didominasi non katolik.

 Karena diingatkan oleh koordinator bahwa masih ada tempat yang harus dikunjungi maka tour keliling museum Kurang dari sejam. Meski hanya sebentar dan masih ada yang merasa belum puas, mereka terkesan. Mereka tuangkan kesan dan pesan kunjungan dalam buku tamu dan lembar kertas yang tersedia. Berikut beberapa kesan yang dirangkum redaksi.

 Yonathan : Bisa merasa lebih tau tentang arti sejarah suster santa Ursula. Lebih banyak belajar. Victor: Menambah wawasan bagi kami yang tidak / belum mengeti sejarah tentang agama katolik. Monic : Bagus sangat berkesan melihat para pejuang Biarawat untuk menyebar kebaikan Tuhan. Indra Munid Yuliyanto: Kami sangat mendapatkan ilmu baru dari Santa Maria. Ini sangat memberikan wawasan yang lebih luas bagi yang berbeda agama seperti saya. We love Santa Maria. Seprianus Putra: Tempat luar biasa bersejarah dan patut dilestarikan. Coni Fransisca: Tempatnya enak dan nyaman, banyak dapat ilmunya. Museumnya banyak benda benda jaman dulu. Ok deh pokoke. Tarsila Destri: Sangat bermanfaat dengan adanya museum ini, sehingga saya bisa mengetahui tentang museum.

 Kesan yang mereka ungkapkan dalam tulisan menunjukkan kekaguman dan semangat untuk mau belajar dan menerima perbedaaan dengan tangan terbuka. Terima kasih kunjungannya kawan kawan mahasiswa STIE URSULA.***

Visitor Studies Cara Museum Memanjakan Pengunjung.

Pergeseran paradigma museum dari Collection oriented ke Public Oriented memaksa Museum harus berbenah dan meningkatkan kualitas pelaya...