Senin, 12 Agustus 2019

Dua Suster Dua Museum


Senin siang (22/7/2019) dua suster dengan seragam berbeda datang ke Museum Santa Maria. Setiba di museum, mereka disambut Suster Lucia, penanggung jawab museum Santa Maria. Di kantor suster Lucia, kedua Suster itu menyampaikan niatnya bahwa mereka ingin belajar membangun museum dan pengelolaanya.

Dua suster itu ternyata kakak beradik dari dua konggregasi berbeda. Suster Ignasio sang kakak menetapkan pilihan menjadi biarawati konggregasi SPM (Santa Perawan Maria) sedangkan adiknya, Suster Imeldi, memilih bergabung dengan konggregasi OSF (Para Suster Dari Santo Fransiskus). Konggregasi itu sendiri adalah komunitas biarawan atau biarawati dalam gereja katolik.

Konggregasi SPM berkarya di Indonesia sejak 1926 sedangkan Konggregasi OSF memulai karya di Indonesia sejak 1870. Karya mereka selain pendidikan adalah Rumah Sakit, Panti Asuhan dan beberapa karya lain. Pelayanan dan karya dua konggregasi tersebut menjadi bagian perjalanan Bangsa Indonesia hingga saat ini dan masih akan terus berlangsung.



Para perintis karya dan pelayanan kedua konggregasi itu layak untuk dihormati dan dikenang karena karya mereka sungguh bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu dibuat museum untuk mengenangkan perjuangan para perintis dalam memulai karya di Indonesia. Dua konggregasi itu, SPM dan OSF yang diwakili kakak beradik Suster Ignasio SPM dan Suster Imeldi OSF masing masing berencana membuat museum. Artinya akan ada dua museum lagi yang berdiri. Semakin banyak museum semakin memudahkan masyarakat untuk belajar sesuai pilihan.

Museum yang akan dibuat menjadi sarana pendidikan bagi para milenial untuk belajar bagaimana para pendahulu berjuang, menjaga dan merawat karya dan pelayanan dengan penuh kesetiaan. Apalagi karya dan pelayanan mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat. Semakin baik bila setelah dari museum, mereka dapat belajar kemudian bergabung dan turut serta mengembangkan karya yang sudah ada sehingga semakin bermanfaat bagi masyarakat.

Sebelum pamit , kedua Suster kakak beradik yang sedang liburan sekaligus studi banding itu menuliskan pesan di buku tamu, “Bagus sekali, luar biasa data jaman ke jaman sejarah misi suster Ursulin di Indonesia Jakarta. Museum ini amat penting untuk pembelajaran anak muda dan yang berkunjung,” tulis Suster Imeldi OSF. Sedangklan Suster Ignasio menulis “Mengagumkan dan sangat terinspirasi.”

Terima kasih atas kunjungannya Suster berdua, semoga cita-citanya membangun museum dapat terwujud.***

Senin, 05 Agustus 2019

Alasan Ke Museum Santa Maria


Museum Santa Maria sering kedatangan turis asing dari berbagai negara. Ada yang datang berkunjung karena saat lewat melihat papan nama museum. Ada juga yang sengaja datang karena ternyata ada kenangan masa lalu atau melacak jejak leluhur. 

Seperti keluarga Paul Geelen dari Belanda. Ia bersama istrinya, Van de Moesel dan putranya, Lennard Geelen mengunjungi Museum Santa Maria, Senin 1 Juli 2019. Mereka datang untuk melihat Sekolah Santa Maria tempat mama Van de Moesel dulu pernah sekolah.

Di depan pemandu, Van de Moesel bercerita sambil mengeluarkan peta dan beberapa catatan hasil cetak dari internet tentang kawasan yang dulu bernama Molenvliet. 

Mamanya dulu tinggal di sekitar Molenvliet yang sekarang bernama Jalan Hayam Wuruk. Mamanya sekolah di Sekolah Kepandaian Putri di Jalan Batu Tulis, sekarang menjadi SMP Santa Maria. Setiap hari jalan kaki pergi dan pulang sekolah. 

Setelah lulus dari Santa Maria ia masih tinggal di Batavia sampai sampai papanya meninggal tahun 1949. Setelah itu ia pergi ke negeri Belanda. Namun di kapal, semua kumpulan surat penting dicuri orang. Ia jengkel dan enggan kembali ke Indonesia.

Usai menyimak cerita Van de Moese, Pemandu kemudian mengajaknya keliling museum. Di ruang Angela mereka terkejut melihat kota Sittard ada dalam history wall. 

Rumah mereka tidak jauh dari Sittard, terjangkau dengan bersepeda. Paul Geelen bercerita ia sering lewat tapi tidak pernah singgah. Justru ia lebih sering pergi dan singgah di negara negara tropis.

Di Museum Santa Maria, mereka mengagumi kebun biara “I would only sit here and enjoying it. So lovely and in the middle of Jakarta you don’t hear noise. So quite here. It’s very lovely place” komentar Van de Moesel. 

Usai keliling museum, mereka dihantar menuju area SMP Santa Maria tempat dulu mamanya sekolah. Ia ingin melihat sekolah mamanya dulu sekaligus pamit. 

Mereka masih akan menelusuri Molenvliet dengan berjalan kaki dan sepulangnya nanti ia akan ceritakan semuanya kepada mamanya.***



Jumat, 02 Agustus 2019

Saya Harus Datang Lagi


 

Apa yang menarik dari Museum Santa Maria? Pertanyaan itu muncul di benak Pak Chandrian, pensiunan kepala Balai Konservasi dan Cagar Budaya, saat mengunjungi Museum Santa Maria (Kamis, 4/7/ 2019). 

Setelah lebih dari satu jam keliling, Pak Chandrian berubah dari semula bertanya menjadi yakin Museum Santa Maria memiliki banyak hal yang istimewa dan ia merasa harus datang lagi.

Suster Lucia, menyambut dan mempersilahkan masuk ke ruang kantornya. Berkemeja batik motif bunga warna warni dan bercelana bahan warna hitam, tak lupa tas punggung yang enggan dilepas saat ditawarkan untuk disimpan “Enggak usah, masih kuat bawa ini (tas punggung) terima kasih,” Kata Pak Chandrian. 

Usai bertemu singkat dengan Suster Lucia, tour keliling museum dimulai.

Dari jam 11.15 ditemani Harun, Mahasiswa S2 yang sedang riset dan Silfano Hafid, reporter BBC yang memang ada janji dengan Pak Chandrian, mereka bertiga diajak tour keliling museum dan komplek Santa Maria.

Ruang ANGELA dan MISI menjadi tempat diskusi masa kolonial. Diskusi yang seru dan menarik karena banyak hal di masa Jakarta bernama Batavia yang belum terungkap ke publik. 
Dari Museum, lanjut ke area sekolah dan kapel. Di depan kapel Santa Maria, Pak Chandrian menatap sejenak gedung kapel sebelum melongok ke dalam. 

Melihat ada logo ayam jago di puncak menara kapel, Pak Chandrian teringat gereja-gereja di Jakarta yang ada logo ayam jago. “di Jakarta seingat saya ada beberapa gereja yang ada ayam jagonya, kalo ditambah disini berarti ada lima. Di gereja ayam pasar baru, gereja Paulus, Gereja di taman mini, satu lagi dimana saya agak lupa terus disini.”

Interior dan furniture kapel masih terawat baik. Jendela, dengan kaca patrinya, lantai dengan corak yang khas jaman kolobial serta atap yang melengkung cukup menggoda mata untuk mengabadikannya. Di dalam kapel, Pak Chandrian dan yang lain hanya sebentar saja, tetapi tak lupa mengabadikan interior kapel dengan gawainya.

“Tadi di awal saya bertanya dalam hati, apa menariknya museum Santa Maria. Tapi setelah keliling sebentar, kok ada yang menarik, masuk lagi kok ada lagi yang menarik. Sepertinya saya harus datang lagi karena hari ini waktunya terbatas.” Komentar Pak Chandrian selepas dari kapel.

Hampir jam dua siang saat mereka pamit. Saat diminta menuliskan pesan Pak Chandrian menulis singkat “Terkesan” Apakah itu tanda Pak Chandrian benar akan datang lagi? Kita tunggu saja.***



Visitor Studies Cara Museum Memanjakan Pengunjung.

Pergeseran paradigma museum dari Collection oriented ke Public Oriented memaksa Museum harus berbenah dan meningkatkan kualitas pelaya...