“Ini Wakasek SMK Penabur, Wakasek SMKN 2, Kepsek SMK Bunda Mulia, dan Kepsek SMK St.Paulus." Demikian Ibu Utari Kepala Sekolah SMK St Maria memperkenalkan rekan-rekannya. Para Kepala SMK di Jakarta Pusat baru saja mengadakan pertemuan berkala, yang kebetulan giliran SMK St Maria tuan rumahnya di bulan Juli 2018 yang lalu. Kedatangan tamu para Kepala Sekolah SMK ke Museum itu atas informasi Ibu Utari yang selama ini sering bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan di Museum. “Saya akan ajak ibu-ibu kepala sekolah untuk melihat Museum.“ katanya waktu itu. Alasan Ibu Utari mengajak rekan-rekan mengunjungi museum “Waktu itu kami rapat kepsek binaan pengawas. Lalu teman-teman penasaran dengan Museum Santa Maria bahkan ada yang sudah menunggu lama sekali untuk dapat kesempatan ke Santa Maria.” | Setelah selesai makan siang di café-Unit Produksi SMK Tata Boga, mereka langsung menuju ke Museum. Dalam kunjungan itu, Suster memandu para ibu pimpinan sekolah berkeliling museum ditemani Ibu Utari. Satu per satu ruang-ruang dengan berbagai macam koleksi yang ada di museum menarik perhatian mereka dan muncul berbagai pertanyaan dan komentar. “O..jadi begitu cerita awalnya sekolah ini.” ungkap salah seorang Ibu yang non katolik sambil mengangguk-angguk memandangi Piagam MURI. MURI untuk keberadaan sekolah putri katolik berasrama pertama di Indonesia. Selama kurang lebih empat puluh lima menit, rombongan menikmati berbagai benda koleksi. Rasa kagum para ibu pimpinan sekolah itu diungkapkan Ibu Utari usai kunjungan. “Bagaimana Bu Tari, tanggapan atau kesan mereka setelah berkunjung?” “Kesannya luar biasaaa...hebat banget sekolahan punya museum" Itu kesan yang terungkap secara spontan. Sementara di buku tamu, mereka menulis “Menambah, pengetahuan agama dan perkembangan pelayanan suster. Menarik.” Tak lupa sebelum meninggalkan museum, selfie dulu.*** |
Jumat, 24 Agustus 2018
SEKOLAH YANG PUNYA MUSEUM
Senin, 20 Agustus 2018
FOLLOWER ARBAIN RAMBEY, penasaran dari Semarang ke St Maria
“Masuk ke sini koq serasa masuk dunia lain.” “Maksudnya bu?” “Iya dunia lain, beda banget dengan suasana di luar, di luar itu kan semrawut, begitu masuk ke dalam itu beda banget. Ekspektasinya di luar dugaan.” komentar Ibu Didit ketika mulai memasuki kompleks sekolah dan museum St Maria. Senin di akhir bulan Juli 2018 sekitar jam sepuluh pagi, keluarga Bapak JS Panditokaton atau keluarga Pak Didit dari Semarang singgah di Museum Santa Maria. “Mumpung di Jakarta jadi sekalian mampir museum.” Jelas Bu Didit. Sebenarnya se-keluarga Bapak dan Ibu Didit serta kedua anka laki-lakinya sudah ada di Jakarta sejak hari minggu. Mereka datang untuk menghadiri pernikahan dari sanak familinya. “Tau museum ini dari instagramnya Pak Arbain Rambey, saya followernya. Waktu itu Pak Arbain upload foto Museum Santa Maria, trus tak cari di internet ketemu blognya.” kata Mas Ageng putra tertua Pak Didit. | “Awalnya sempet ragu-ragu juga ini kok sekolahan, apa ada museum disini? lalu anak saya meyakinkan, iya bu bener disini kok. Kami terus masuk, semula sekedar pingin tahu saja, eeeh malah luar biasa ini. Diajak masuk keliling dan didampingi.” Bu Didit menambahkan. Setelah keliling museum, sekeluarga singgah sebentar di kapel untuk berdoa, mas Pradipta, berdoa dengan khusuk. Tak lupa berswafoto. Setelah puas berkeliling, karena hari sudah siang, mereka lanjut ke kantin unit produksi SMK tempat praktek siswa/siswi jurusan Tata Boga untuk santap siang. Selama makan bersama, mereka ditemani Sr Lucia yang kebetulan juga berasal dari Semarang. Omong punya omong, ternyata sama-sama alumni dari sekolah yang sama, termasuk Arbain Rambey. Bahkan teman Pak Didit juga teman Sr Lucia. “Oh..ternyata dunia begitu sempit rupanya.” Selesai makan, siang itu juga mereka kembali ke Semarang mengendarai mobil pribadi. Mereka pulang dengan berbagai kesan dan pengalaman tak terduga. Di buku tamu, Mas Ageng, menulis “Pengalaman yang menarik bisa mengunjungi museum tematik seperti museum Santa Maria. Semoga tetap terawat sejarah dan koleksinya, juga semakin banyak yang datang.” Terima kasih doanya Mas Ageng.*** |
Kamis, 16 Agustus 2018
PROFESIONALISME dalam KESEDERHANAAN (Observasi Pak Max & Ibu Petra)
Pak Max dan Ibu Petra, pasangan dari Belanda berkunjung ke Museum Santa Maria Rabu, 25/06/2018 Museum di temani Pak Piter. Pak Max dan Ibu Petra datang tepat Pk. 10.00 diantar Pak Satpam melalui halaman panjang kompleks sekolah. Mereka langsung menuju refter (=ruang makan para suster) untuk minum.Petra Timmer seorang Art Historian dan Max Meijer Museulogist. Mereka sengaja datang untuk melihat-lihat komplek biara, sekolah dan museum Santa Maria. Mereka ingin mempelajari seluruh kompleks dengan segala keunikannya untuk memastikan materi yang akan disampaikan pada Workshop Pengelolaan Museum keesokan harinya, betul betul tepat sasaran. Maka selama hampir tiga jam mereka melihat dengan teliti, memotret, bertanya, dan menganalisa. Sedangkan Pak Piter adalah partner kerja Pak Max dan Ibu Petra saat membantu pengelolaan Museum Tsunami di Aceh beberapa waktu lalu. Pak Piter sendiri adalah warga Jakarta dan sudah pernah berkunjung ke museum Santa Maria. Kerjasama mereka mengelola Museum Tsunami Aceh disupport UNESCO, badan PBB yang khusus menangani bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Kali ini Pak Piter, Pak Max dan Ibu Petra kembali berkolaborasi untuk mendukung karya Para Suster Ursulin dalam mengelola Museum Santa Maria. | Dalam kunjungannya, mereka sungguh menikmati dan melihat detail dari seluruh komplek Santa Maria. Beberapa foto mendapat perhatian serius. Salah satunya Foto udara area sekolah Santa Maria karya Arbain Rambey. Mereka kagum tidak hanya dengan fotonya saja tetapi juga dengan luasnya area. Foto hall juga tak luput dari pandangan. Mereka membayangkan interior dan situasi hall masa lalu saat foto lukisan itu dibuat. Di Ruang Angela dan Ruang Misi juga sama, hampir semua foto mendapat perhatiuan serius. Mereka tidak hanya sekedar ingin tahu tetapi juga menikmati betul keindahan masa lalu yang tampak dari foto lukisan. Beberapa benda kuno seperti lemari, ruangan, uang kuno, kain dan beberapa yang lain mendapat perhatian khusus pula. Benda benda pamer itu menjadi sasaran diskusi dan sharing pengalaman mengelola saat menjadi konsultan museum-museum besar di dunia. Pertemuan, diskusi dan sharing di museum diteruskan sampai ke meja makan. Suster Lucia menyambut tamunya dengan santap siang istimewa mengakhiri pertemuan hari itu di café Unit Produksi SMK St Maria. Lauknya khusus dari siswa/i tata boga yang kebetulan hari itu sedang praktek memasak. Rasanya tidak kalah dengan restoran berbintang…..hm..... Disela-sela makan siang, Ibu Petra diminta mencoba blus batik yang dibuat oleh salah satu Guru Tatabusana SMK yaitu Ibu Bong Siau Kiau. Syukurlah pas. Kain batik sumbangan Pak John Handoyo cocok dan pas dipakai oleh Ibu Petra yang berkulit putih itu. Pak Max, Ibu Petra serta Pak Piter pamit sekitar pk. 14.00 karena harus mempersiapkan materi workshop esoknya di tempat yang sama, Museum Santa Maria.*** |
Rabu, 15 Agustus 2018
MERAWAT BANGUNAN KUNO UNTUK MUSEUM
Museum Santa Maria menggelar workshop pengelolaan museum di hall Museum Santa Maria Juanda, Kamis 26 Juli 2018 dengan menghadirkan konsultan museum dari TiMe, Timmer & Meijer .Petra Timmer berprofesi sebagai Art Historian dan Max Meijer seorang Museulogist . Pasangan suami istri dari Belanda yang fokus karyanya membantu menjadi konsultan dalam permuseuman di seluruh dunia, memberi sesi dan memandu seluruh peserta workshop dengan judul “Merawat Bangunan Kuno Untuk Museum.” Peserta yang diundang dari berbagai macam profesi terkait yang mendukung dan pemerhati karya para Suster Ursulin di Museum Santa Maria. Menurut Petra, beberapa kelebihan Museum Santa Maria seperti lokasi yang strategis berada di dekat pusat pemerintahan, komunitas yang hidup bukan sekedar peninggalan sejarah saja, dan tentu juga sejarahnya yang istimewa karena hadir jauh sebelum hadirnya negara Republik Indonesia. Selain itu cerita yang unik dari sebuah biara tertua di Indonesia dengan Pancasila nya. Beberapa kelebihan lain seperti time line Museum, layout brosur yang menarik serta adanya denah museum dengan ciri khas masing masing. Tak lupa mereka juga menyoroti benda koleksi museum yang terawat dengan baik pula. Yang tak boleh dilupakan adalah keramah tamahan para suster . Sementara itu beberapa hal yang harus dibenahi dan ditingkatkan dari museum ini antara lain menampilkan tokoh lulusan/alumni sekolah Santa Maria. Menurut Petra orang akan tertarik dengan biografi para tokoh/figur publik. | Apalagi tokoh itu masih hidup seperti Martha Tilaar. Tata letak Auvi juga menjadi saran untuk ditindaklanjuti. Selain itu penataan cahaya dan warna pada beberapa ruang apabila memungkinkan bisa di sesuaikan dengan tema ruang pamer. Sedangkan untuk label bila perlu ditambah teks cerita serta sejarah bangunan gedung juga menjadi hal yang cukup menarik untuk diceritakan. “Salah satu keunikan sekaligus kelebihan dari Museum Santa Maria adalah, sebuah institusi yang tetap ada dan terus berkelanjutan dan mampu menceritakan obyek dan nilainya kepada orang orang untuk hidup lebih baik,“ kata Petra. Sementara Max memberikan beberapa contoh museum dengan kategori pra colonial, colonial, post colonial dan saat ini. Masing masing contoh dengan keunikannya adalah Keraton Yogyakarta, Museum di Bima-Lombok, dan Ternate menjadi kelompok bagian Pra Kolonial. Museum Nasional, Museum Geologi adalah contoh dari masa Kolonial. Sementara TMII, Monas menjadi kelompok bagian post colonial. Untuk yang modern saat ini adalah museum MACAN-Jakarta, Museum Tsunami-Aceh, Multatuli-Lebak, Gedung Sate-Bandung. Workshop yang dimulai jam 08.30 diawali dengan paparan suster Ingrid Widhiningsih OSU yang mengawali pendirian Museum Santa Maria lalu dilanjutkan dengan Sr. Lucia penanggung jawab Museum dengan paparan kondisi museum saat ini. Usai workshop Max Meijer menyampaikan apresiasinya di laman facebook pribadinya: “Quite a shock at the registration desk of our workshop at Santa Maria in Jakarta this morning. World famous here now! Workshop went very well with thoughtful presentations Sister Lucia, energizing moderation by Pak Piter, short lectures by PP Petra Timmer and myself. Discussions about the narrative, collection, target groups and design of the future Santa Maria museum proved to be lively and rich in directions. And the food was excellent again! It was an honour for us both to be invited here. Hope to be back!” *** |
Senin, 06 Agustus 2018
DARI JERMAN ke INDONESIA: Melacak Jejak Leluhur
Rabu, 01 Agustus 2018
Seperti Habis Di-cas Baterainya.
Sr. Zita Iryanti dan Sr. Anita Seran, dua suster dari komunitas Generalat Ursulin-Roma dan komunitas Agats- Papua melakukan delapan hari retret pribadi di komunitas Santa Maria Juanda. Suasana libur sekolah membuat kompleks biara-sekolah sunyi-senyap tanpa suara anak-anak sekolah, mirip rumah samadi. Di sela-sela retret, mereka berkeliling melihat museum, bahkan mereka berdoa di area museum.
“Ketika jalan-jalan di Museum, saya melihat lemari berisi koleksi piring dari berbagai negara sesuai yang tercantum pada lembar informasi di masing masing piring,” kata Suster Zita; ..”Saya kagum, untuk hal-hal kecil seperti piring, sendok-garpu sekalipun mereka bawa dari sana,” lanjutnya. Sr Zita terkesan bahwa para suster sungguh memikirkan dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan teliti dan baik. Sementara selama ia mendapat perutusan di Generalat-Roma yang sedang dijalaninya, ia tidak perlu repot-repot membawa alat-alat itu. “Area ini sungguh suatu tempat yang nyaman untuk berdoa dan merenung. Merenungkan para suster pendahulu dengan segala kegiatan dan usahanya untuk merintis pendidikan perempuan pertama di sini,” sharing Sr Zita. “Itu semua membuat saya makin bersemangat untuk bekerja,” katanya mantap. Beberapa waktu kemudian, Sr Anita Seran juga datang untuk mengambil waktu retretnya di komunitas St Maria. Dalam refleksinya, ia membandingkan tugasnya mengajar dan mendidik anak-anak di Agats-Papua dengan usaha para suster pionir di Santa Maria. | “Dahulu para suster pionir mendidik anak-anak yang tidak terawat dan tersentuh belaian kasih sayang orang tuanya karena ortunya harus bekerja di perkebunan-perkebunan yang letaknya di luar kota. Orang tua menitipkan anak-anaknya di asrama. Sedangkan saat ini kami harus mendidik anak-anak yang betul-betul tidak mengenal sekolah dan lebih memilih mencari sagu dan hidup di alam liar. Mereka sejak lahir sudah mengenal dan hidup di hutan, tidak mempunyai motivasi untuk bersekolah. Untuk kami, ini sungguh suatu tantangan, bagaimana menyadarkan orangtua mereka dan mengajak anak-anak itu untuk mau datang ke sekolah, dan itu dilakukan hampir setiap hari,” ceritanya sambil tersenyum.
“Sebelum saya mulai retret, saya merasa lelah, cape…seolah-olah usaha saya sia-sia, tidak ada gunanya,” keluhnya. “Tapi sekarang saya sungguh mendapat energi baru untuk kembali ke komunitas Agats-Papua dan mengajak mereka kembali untuk terus menerus tanpa lelah mau pergi ke sekolah,” katanya bersemangat. Sr. Zita dan Sr. Anita sungguh merasakan bahwa aura Museum St Maria sangat positif terutama saat mereka berada di ruang relikui. Mereka mendapatkan semangat dan energi baru. “Seperti habis dicas/ charge baterainya,“ kata mereka. Semoga tidak hanya semangat baru, tetapi juga inspirasi baru untuk pelayanan suster di komunitasnya. Terima kasih sharing-nya Suster.*** |
Langganan:
Postingan (Atom)
Penghormatan Relikui
Museum Ursulin Santa Maria (MUSM) menggelar Pameran dan Penghormatan Relikui memperingati Hari Raya Semua Orang Kudus. Kegiatan Pameran dan...

-
Hari Museum Indonesia tahun 2019 dirayakan dengan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Grebeg Museum (=ramai-ramai mengunjungi museum...
-
Tanah makam para suster awalnya ada di Bidaracina. Semula tanah itu adalah pemberian Bapak Heugen, kepada Uskup Vrancken dengan mak...
-
Setiap kita ke museum apakah kita baca semua teksnya? Seperti apakah teks yang sesuai dan enak dibaca? Ibu Ajeng Ayu Arainikasi...