Jumat, 07 Desember 2018

ASRAMA


Asrama di Noordwijk berdiri sejak awal kedatangan para suster. Asrama dihuni oleh anak-anak usia dini dari Fröbel School dan Lagere School. Ada 3 putri pertama masuk tanggal 13 Mei 1856 dan dalam bulan Oktober mencapai 40 anak. 

Mereka ada di asrama karena orangtuanya banyak bekerja di perkebunan-perkebunan di luar kota. Bahkan ada juga yang orangtuanya tentara Belanda, yang selalu berpeindah-pindah tugas. Asrama menjadi tempat untuk belajar hidup bersama, berdoa bersama, dan hidup mandiri karena jauh dari orangtua. 

Jumlah anak asrama terus meningkat, sehingga tahun 1863 harus dibuat ruang makan asrama lagi. Pada tahun itu juga terjadi wabah penyakit campak, banyak anak asrama yang terkena wabah sampai sekolah harus ditutup sementara.

“Pada awal tahun l866 kami memperpanjang waktu libur untuk mengadakan beberapa perubahan, antara lain: ruang yang sampai sekarang dipakai untuk kamar makan anak asrama, diubah menjadi ruang kelas-kelas dan bangunan baru yang sudah selesai menjadi ruang makan bagi asrama. Anak asrama juga mendapat suatu ruang rekreasi yang bagus” 

 Tahun 1881, ketika Sekolah Pendidikan Guru dibuka, biara juga membuka asrama untuk kebutuhan murid-murid SPG. Ada 40 tempat tidur yang dibangun di atas ruang kelas, dan baru selesai 1883. “Dalam bulan Februari ruang makan untuk asrama dan ruang-ruang lain hampir selesai. Semua ruang cukup besar dan serambi yang lebar memungkinkan anak-anak pindah ruang tanpa kena hujan. 

 Sejak kedatangan di Batavia para suster memberi perhatian penuh kepada pendidikan asrama, sesuai dengan tradisi Ursulin. Pada akhir tahun 1896 ada 108 anak asrama. Para suster bercita-cita supaya anak-anak dan semua orang yang datang dan belajar di sini menerima pendidikan dan pelajaran yang sebaikbaiknya dan selengkap-lengkapnya. 

Pada tahun 1901 terjadi wabah kolera. Hari itu merupakan suatu “malapetaka” karena ada 3 asramawati yang meninggal berturut-turut. Ada yang di asrama, ada yang di rumah sakit. 
Esok harinya banyak orangtua datang mengambil anak-anaknya. Akibatnya jumlah anak asrama menurun drastis, karena banyak asramawati tidak kembali setelah liburan. 

Pemimpin biara Sr Augustine dan komunitas mempunyai keinginan untuk menutup asrama. Karena selain banyak anak yang tidak kembali ke asrama, waktu itu sudah semakin banyak sekolah-sekolah yang didirikan di luar kota, sehingga mereka tak perlu datang ke Batavia. Namun Mgr Luypen tidak setuju kalua asrama ditutup, apalagi Sr Augustine mau mendirikan asrama di Bandung. 

Setahun kemudian penghuni asrama sudah menjadi 70 putri. Setelah itu jumlah asramawati berangsur-angsur meningkat lagi. Banyak panggilan menjadi suster muncul dari para asramawati. Mereka melihat langsung dan tertarik kehidupan para suster saat itu. 

Januari 1933, ada 3 asramawati asli Jawa yang menjadi calon Suster/postulan dan masuk ke postulat di Bandung.. Hal ini kami anggap suatu kejadian penting dalam Sejarah Ordo kami di kawasan Nusantara ini supaya Gereja berurat-berakar di Tanah Jawa dan di seluruh Wilayah Nusantara ini. Panggilan sebagai suster bertambah ketika para suster Belanda banyak yang meninggal dan ditawan di kamp-kamp Jepang. 

Asramawati sering dilibatkan dan ambil bagian dalam acara atau perayaan para suster di biara. Misalnya pesta perak salah satu suster, hari raya gereja, atau pun mengiringi jenazah suster ke tempat pemakaman dsb. Situasi ini berlangsung hingga sebelum Perang Dunia II. Dalam perang dunia II banyak anak kembali kepada orang tuanya, karena sekolah berhenti. Gedung sekolah dipakai menjadi markas tentara Jepang. Sementara untuk anak-anak yang tidak mempunyai orangtua/ yatim-piatu tetap berada di kompleks biara-asrama bersama para suster. 

Ketika terjadi pengambil alihan gedung asrama dan panti asuhan di Meester Cornelis dan Matraman, anak-anak asramanya terpaksa diungsikan ke kompleks asrama-biara Noordwijk. Mau tidak mau mereka harus berdesak-desakan dengan yang ada di Noordwijk. Mereka hidup dalam situasi keterbatasan tempat dan makanan/minuman, terlebih lagi dalam situasi ketakutan perang. Para Suster yang mendampingi mereka hanya beberapa saja, karena semua suster Belanda ditawan di kamp-kamp. Mereka antara lain suster berkebangsaan Jerman, China dan Indonesia. (Sumber dari Buku URSULIN PENDIDIK PEREMPUAN PERTAMA DI INDONESIA Derap Langkah 160 Tahun, Komunitas Ursulin Santa Maria, Jakarta.hal.55)

Visitor Studies Cara Museum Memanjakan Pengunjung.

Pergeseran paradigma museum dari Collection oriented ke Public Oriented memaksa Museum harus berbenah dan meningkatkan kualitas pelaya...