Sabtu, 07 September 2019

De refter

Pada Masa lalu Ruang makan di Biara Santa Maria Juanda seperti tampak dalam gambar. Ruang makan Suster terpisah dari ruang makan asramawati. Ruang makan yang cukup luas dengan meja lengkap dengan kursi di satu sisi menghadap ke tengah ruangan. Ruang makan didesain luas dan tampak lega karena fungsinya untuk makan bersama juga untuk rekreasi bersama dan pesta.

Tradisi makan di nusantara tidak mengenal ruang makan. Pada umumnya kaum bumiputra duduk santai di lantai ketika makan dan mengalasi makanan mereka dengan selembar daun pisang atau piring kayu

Namun tentu saja, ada perbedaan gaya antara khalayak dan kaum ningrat dalam soal etika makan. Kendati sama-sama menggunakan tangan, ada aturan khusus yang dianut para bangsawan. Di antaranya saat makan dilarang keras bercakap-cakap atau mengangkat satu kaki serta harus mendahulukan orang yang paling tua.

Sebagian kaum elit bumiputra kemudian mulai menerima kebiasaan makan orang-orang Eropa. Contohnya dengan menggunakan sendok dan garpu. Tentunya penggunaan alat-alat makan khas Eropa itu sudah mengalami penyesuaian mengingat pisau tak biasa digunakan.

Etika makan orang Eropa yang masih terjejaki hingga kini adalah prasmanan. Kata “prasman” mengacu pada cara makan orang “fransman”, sebutan orang Belanda kepada orang Prancis, yang sering menyajikan makanan dengan ditaruh di atas meja. Orang-orang Prancis sendiri menyebut cara ini dengan nama buffet

Istilah buffet sendiri diartikan sebagai meja besar yang ditaruh dekat pintu masuk restoran-restoran. Di atas meja, hidangan disusun para pelayan dengan maksud agar para tamu mendatangi meja tersebut dan memilih sendiri makanan yang diminatinya.

Cara “fransman” ini kemudian diikuti orang-orang Belanda. Menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara, cara ini juga diadopsi orang-orang bumiputra dan cukup diminati hingga kini. Karena kaum bumiputra sulit melafalkannya, cara ini pun disebut “makan prasman” lantas menjadi “makan prasmanan”.

Pengadopsian prasmanan oleh kaum bumiputra, terutama kaum ningratnya, “menghancurkan” secara perlahan tradisi makan cara lama. Sebelumnya tradisi makan dalam suatu perhelatan diberlakukan dengan konsep selametan: para tamu dibawakan berbagai sajian untuk disantap bersama dalam masing-masing piring atau wadah lain. 
Bahwa makanan punya efek politik bukan soal baru. Zaman dulu food diplomacy telah di praktekkan oleh para raja di pelbagai belahan dunia untuk menjamu para tamu kerajaan. Tradisi itu juga terus berlaku di dunia politik modern. Dari Presiden sampai pemimpin partai politik memakai diplomasi makanan untuk mempererat relasi antar kawan atau mencairkan suasana tegang dengan lawan. Makanan juga menjadi sarana mengentertain relasi bisnis agar lancar. Meski pada akhirnya tidak semua sukses tetapi hasil dari entertain ini lebih banyak yang berhasil.

Ketika para suster menjadi misionaris di tanah asing, kebiasaan atau tradisi yang sudah ada tetap diteruskan. Kehidupan sehari-hari mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi monastik saat itu. Misalnya, pada saat-saat bekerja tanpa banyak berbicara, atau disebut “silentium” untuk “menjaga keheningan”.

Ada saat-saat bebas berbicara yaitu pada jam-jam rekreasi bersama setelah makan malam bersama atau pada saat di mana ada pesta/peringatan/acara khusus. Pada saat itu Pemimpin Komunitas akan mengatakan dalam bahasa Latin “Benedicamus Dominum” (=Mari Memuji Tuhan) maka biasanya spontan akan dijawab bersama oleh para suster “Deo Gratias” (=Terima kasih Tuhan) yang berarti para suster boleh mulai saling berbicara satu sama lain.

Ketika sudah waktunya untuk kembali silentium, Pemimpin Komunitas akan mengatakan dalam Bahasa Belanda Geloofd zij Jesus Christus (=Terpujilah Yesus Kristus), biasanya ditanggapi dengan gerakan “menutup mulut dengan jari” sebagai tanda untuk kembali masuk pada suasana hening. Untuk menjaga situasi hening di dalam biara, maka pada pintu masuk biara sering ada tulisan “Clausura”, agar mengingatkan semua saja yang akan memasuki bagian dalam biara. 

Saat ini tradisi makan bersama masih berlangsung . Bahkan waktu makan malam diperpanjang karena di tambah dengan rekreasi. Para suster tidak beranjak dari ruang makan dan menggabungkan waktu rekreasi dengan santap malam. Pada masa masa tertentu seperti perayaan natal atau tahun baru santap malam dan rekreasi dibuat lebih meriah. Setiap suster menampilkan performance menghibur di tengah tengah ruangan.***

sumber:
1. kaskus.co.id
2. Buku: Ursulin Pendidik Perempuan Pertama di Indonesia

Visitor Studies Cara Museum Memanjakan Pengunjung.

Pergeseran paradigma museum dari Collection oriented ke Public Oriented memaksa Museum harus berbenah dan meningkatkan kualitas pelaya...